Date: 12/18 12/18
Surabaya, 16 Desember 2024 – Pondok Pesantren Jagad 'Alimussirry menggelar acara tradisi bancaan malam bulan purnama, sebuah tradisi spiritual yang dijalankan untuk meningkatkan kedekatan diri kepada Allah dan memohon keberkahan. Acara ini diadakan di kompleks pesantren dan dipimpin langsung oleh pengasuh, Dr. KH Djoko Hartono, S.Ag., M.Ag., M.M. Beliau merupakan tokoh yang mendapatkan ijazah amaliyah malam bulan purnama dari salah satu patih di Ngawi. Tradisi bancaan malam bulan purnama ini menjadi agenda rutin bagi pesantren sebagai wujud syukur dan doa bersama. KH Djoko Hartono menekankan pentingnya menjaga warisan spiritual ini sebagai salah satu sarana memperkuat kebersamaan dan menanamkan nilai-nilai keagamaan bagi para santri dan masyarakat sekitar. Tumpeng dan Sajian Bancaan Menurut tradisi Islam Jawa, “Tumpeng” merupakan akronim dalam bahasa Jawa: yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi namanya “Buceng”, dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh). Sedangkan lauk-pauknya tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan (pertolongan). Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra’ ayat 80. Nasi Jagung berbentuk gunungan atau kerucut yang melambangkan tangan merapat menyembah kepada Tuhan. Bentuk gunungan ini juga bisa diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita pun semakin “naik” dan “tinggi”. Ayam Jago atau jantan yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi kaldu santan yang kental merupakan simbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar (nge’reh’ rasa). Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang dilambangkan oleh ayam jago, diantaranya adalah sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia, dan tidak perhatian dengan anak istri. Ikan Teri / Gereh Pethek yang hidup di laut dan selalu bergerombol yang menyimbolkan kebersamaan dan kerukunan. Ikan Bandeng yang terkenal dengan duri-duri halusnya yang jumlahnya seperti tidak terbatas. Hampir setiap gigitan, hampir bisa dipastikan ada duri di dalamnya. Melalui hidangan ini orang berharap setiap saat bisa mendapat rezeki dan jumlahnya selalu banyak atau bertambah seperti duri ikan bandeng. Telur direbus pindang, bukan didadar atau mata sapi, dan disajikan utuh dengan kulitnya, jadi tidak dipotong, sehingga untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu. Hal tersebut melambangkan bahwa semua tindakan kita harus direncanakan (dikupas), dikerjakan sesuai rencana dan dievaluasi hasilnya demi kesempurnaan. Filsafat jawa mengajarkan “Tata, Titi, Titis dan Tatas”, yang berarti etos kerja yang baik adalah kerja yang terencana, teliti, tepat perhitungan,dan diselesaikan dengan tuntas. Telur juga melambangkan manusia diciptakan Tuhan dengan derajat (fitrah) yang sama, yang membedakan hanyalah ketakwaan dan tingkah lakunya. Sayuran dan Urab-uraban/Krawu yang digunakan antara lain kangkung, bayam, kacang panjang, taoge, kluwih dengan bumbu sambal parutan kelapa atau urap. Sayuran-sayuran tersebut juga mengandung simbol-simbol antara lain: • Kangkung: Sayur ini bisa tumbuh di air dan di darat, begitu juga yang diharapkan pada manusia yang harus sanggup hidup di mana saja dan dalam kondisi apa pun. Kangkung juga berarti ‘jinangkung’ yang artinya melindungi. • Bayam: Bayam mempunyai warna hijau muda yang menyejukkan dan bentuk daunnya sederhana tidak banyak lekukan. Sayur ini melambangkan kehidupan yang ayem tenterem (aman dan damai), tidak banyak konflik seperti sederhananya bentuk daun dan sejuknya warna hijau pada sayur bayam. • Taoge: Taoge muncul keluar dari biji kacang hijau. Di dalam sayur kecil ini terkandung makna kreativitas tinggi. Seseorang yang selalu memunculkan ide-ide baru adalah seseorang yang kreativitasnya tinggi dan bisa berhasil dalam hidupnya. Taoge juga jenis sayuran yang sangat mudah dihasilkan. Ini mengandung pengharapan bahwa manusia dapat terus tumbuh dan berkembang, mempunyai anak cucu. • Kacang Panjang: Kacang panjang harus hadir utuh, tanpa dipotong. Maksudnya agar manusia hendaknya selalu berpikir panjang sebelum bertindak. Selain itu kacang panjang juga melambangkan umur panjang. Kacang panjang utuh umumnya tidak dibuat hidangan, tetapi hadir sebagai hiasan yang mengelilingi tumpeng atau ditempelkan pada badan kerucut. • Bawang merah (brambang): melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dari sisi baik buruknya dengan matang. • Cabe merah: biasanya diletakkan di ujung tumpeng. Ini merupakan simbol dilah/api yang memberikan penerangan/tauladan yang akan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. • Kluwih: berarti linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding yang lainnya. • Bumbu urap yang berarti urip/hidup atau mampu menghidupi dan menafkahi keluarga. Acara ini dimulai dengan rangkaian doa, dzikir, dan amaliyah khusus yang diajarkan melalui ijazah yang dimiliki KH Djoko Hartono. Para santri dan tamu yang hadir turut khusyuk dalam melaksanakan amalan malam bulan purnama tersebut. Kegiatan kemudian diakhiri dengan makan bersama sebagai simbol kebersamaan dan persaudaraan. Pentingnya Melestarikan Tradisi KH Djoko Hartono berharap bahwa tradisi ini dapat terus dilestarikan. “Tradisi bancaan malam bulan purnama bukan hanya sekedar ritual, tetapi juga menjadi momen refleksi spiritual yang mendalam bagi kita semua,” ujar beliau. Lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa kegiatan ini memiliki makna menguatkan ikatan kebersamaan antara santri, pengasuh, dan masyarakat sekitar. Tradisi bancaan di Ponpes Jagad 'Alimussirry berhasil memberikan nuansa sakral dan syukur di tengah kehidupan modern yang serba cepat. Kehangatan suasana, doa yang khusyuk, serta makna filosofi yang terkandung di dalamnya menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang hadir dalam acara tersebut. --- Dokumentasi acara ini menunjukkan suasana penuh khidmat dengan sajian tumpeng besar di tengah-tengah peserta yang hadir, dikelilingi hidangan ayam bakar dan pisang raja. Penulis: Muhammad Khoirul Fikri, S.Pd., (S.JA.) Editor: Uswatun Khasanah